Menurut Fockema Andreae kata korupsi
berasal dari bahasa Latin corruptio atau
corruptus. Dari bahsa Latin itulah
turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption atau bahasa Belanda, yaitu corruptie. Arti harfiah dari kata tersebut di atas adalah
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
atau penyimpangan dari kesucian.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang
dikemukakan oleh Poerwadarminta (1976) : “Korupsi ialah perbuatan yang buruk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.” Sedangkan,
korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia saat ini diartikan sebagai penyelewengan
atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan
pribadi atau orang lain.
Indonesia memiliki payung hukum yang
mengatur tentang pemberantasan korupsi, di antaranya Undang – Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang – undang ini mewajibkan para
penyelenggara negara dalam bidang eksekutif, legislatif maupun yudikatif untuk
melaporkan kekayaannya pada saat pengangkatan jabatan maupun setelah mengakhiri
jabatan tersebut.
Beberapa perilaku yang dapat
dikategorikan sebagai korupsi, yaitu bribery
(penyuapan), emblezzlement (penggelapan),
commission (komisi), extortion (pemerasan), abuse of discretion (penyalahgunaan
wewenang), nepotism (nepotisme), illegal contibution (sumbangan ilegal),
dan fraud (pemalsuan).
Adapun dalam Undang – Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindakan yang dapat dikategorikan sebagai
jenis korupsi, yaitu menyangkut hal yang menimbulkan kerugian negara, suap –
menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan
kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Menurut data dari lembaga Transparency International (TI) dalam Corruption Perception Index (CPI) pada
tahun 2015 menunjukkan Indonesia berada pada peringkat ke 88 dari 168
negara yang diukur dalam hal pemberantasan korupsi. Skor CPI berada pada rentang 0-100.
Nol (0) berarti negara dipersepsikan sangat korup, sementara skor seratus (100)
berarti dipersepsikan sangat bersih. Indonesia mendapat skor 36. Hal
tersebut menandakan bahwa masyarakat Indonesia masih jauh akan kesadaran untuk
tidak melakukan tindakan korupsi dibandingkan negara – negara lainnya, seperti
Malaysia yang berada pada peringkat 54 global dan jauh di bawah Singapura yang
berada pada peringkat 8 global.
Korupsi bisa terjadi di mana saja dan pada
siapapun ketika terlena akan mendapatkan suatu hal yang bukan haknya. Tidak
hanya di lingkungan pemerintah, di perusahaan swasta, sekolah, organisasi
masyarakat, bahkan di organisasi keagamaan pun tidak menutup kemungkinan tindakan
korupsi dapat terjadi. Sebab, korupsi tidak menitikberatkan pada tempat subjek
berada, namun pada bagaimana idealisme subjek tersebut dapat dipegang teguh
atau tidak.
Idealisme dapat diartikan
sebagai suatu keyakinan yang dianggap benar, tumbuh dalam jiwa seseorang, dan
terimplementasi dalam perilaku dan cara berpikir. Kapan sejatinya sebuah
idealisme harus ditanamkan? Tentu sedini mungkin adalah jawaban terbaik. Sejak
mulai mengenyam bangku pendidikan, pelajar sebagai calon penerus bangsa
seharusnya sudah ditanamkan suatu idealisme bahwa korupsi adalah suatu tindakan
yang harus dijauhi yang menimbulkan banyak kerugian pada banyak pihak. Akan
Tetapi, kenyataanya pada saat ini banyak dari kalangan mahasiswa yang tidak
memahami arti dari idealisme itu sendri.
Bagaimana cara menanamkan nilai tersebut
kepada para pelajar terutama mahasiswa yang posisinya paling dekat sebagai
calon pemimpin bangsa? Tan Malaka pernah berkata dalam sebuah bukunya,“ Idealisme
adalah kemewahan tertinggi yang dimiliki oleh seorang pemuda.” Idealisme dapat
ditanamkan melalui banyak hal, salah satunya adalah pembangunan karakter untuk
selalu bersikap jujur di manapun berada. Selain itu, lingkungan juga sangat
memengaruhi teguhnya suatu idealisme yang dipegang seseorang.
Berbagai masalah akan muncul di kemudian
hari ketika pada saat ini para mahasiswa sebagai generasi bangsa sudah tidak memikirkan
akan dampak korupsi yang melanda negerinya. Beberapa sikap ini mungkin terasa sepele,
namun secara tidak sadar dapat menjadi benih munculnya tindakan korupsi di masa
yang akan datang.
Sikap yang pertama adalah
ketidakjujuran. Ketidakjujuran merupakan salah satu akar masalah timbulnya
tindakan korupsi. Beberapa orang berani mengambil atau menikmati sesuatu yang bukan
haknya ketika merasa tidak ada seseorang yang melihat. Ia berpikir bahawa jika
tidak ada yang melihat artinya tidak ada pula yang akan menghukumnya atas
tindakan tersebut. Sikap inilah yang masih banyak tertanam pada diri sebagian
kalangan mahasiswa atau pelajar. Mencontek, mengkopi referensi tanpa izin,
melanggar aturan, merasa bahwa hal – hal
tersebut sah – sah saja dilakukan ketika tidak ada yang melihat atau mengawasi.
Sikap lainnya adalah ketidakpedulian. Mungkin sebagian besar mahasiswa hanya sibuk dalam
hal mengejar tugas agar dapat lulus dengan cepat, belajar siang dan malam agar mendapat
IPK cumlaude,
dan mengejar hal – hal lainnya yang memberi keuntungan pada diri sendiri.
Hal tersebut memang sah – sah saja dilakukan, namun apa hakikat menjadi
mahasiswa sesungguhnya tidak tercapai jika tidak dapat memberikan manfaat pada
sekitarnya.
Mahasiswa seharusnya dapat aktif dan
responsif terhadap isu – isu atau kasus yang tengah melanda negerinya terutama
berkaitan dengan korupsi. Setelah tanggap, mahasiswa diharapkan dapat menjadi solutif,
bertindak secara nyata melawan tindakan korupsi, misalnya melalui penggalakan
propaganda antikorupsi di kampus.
Mahasiswa sebagai pemuda yang menempati
strata tertinggi di kalangan pelajar sejatinya memiliki sikap lebih dewasa
dibanding pelajar lain setingkat SMA atau SMP. Dewasa dalam arti dapat
membedakan mana perilaku yang benar dan mana yang salah. Setelah mampu
membedakan, mahasiswa sebagai generasi yang dewasa seharusnya juga dapat
mengingatkan. Ketika rekannya hendak melakukan hal yang mengarah pada tindakan
korupsi atau sejenisnya, seyogyanya dapat mencegah hal tersebut dilakukan,
bukan malah melindungi karena teman dekat atau malah ikut andil.
Peningkatan keimanan dan ketakwaan
adalah penting, tidak menutup kemungkinan bahwa korupsi terjadi akibat
kurangnya integrasi iman dalam diri seseorang. Gerakan antikorupsi dapat
dilakukan melalui penguatan iman dan takwa dalam kerohanian mahasiswa.
Mahasiswa yang meyakini bahwa Tuhannya Maha Melihat akan merasa takut jika
mengambil hak orang lain karena sadar
akan ada konsekuensi dari tindakan tersebut suatu saat nanti.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah
pola pikir. Segala tindakan berasal dari pola pikir seseorang. Korupsi muncul
karena seseorang memiliki pola pikir yang tidak baik. Maka, pola pikir tersebut
harus diintervensi dengan hal-hal atau sugesti yang positif. Pola pikir yang
baik dapat lahir melalui penanaman integritas, bahwa integritas bukan hanya
sebuah kata, namun sebuah pendirian berupa kejujuran yang harus selalu
diimplementasikan walaupun ketika tidak ada seseorang yang melihat perbuatan
kita.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Etika Profesi PNS
Buku Hukum Pidana Korupsi
Lembaga Transparency International. “Corruption
Perceptions Index”. 2015. 25 Nov 2016 pukul 22.15 Diunduh dari : http://www.ti.or.id/index.php/publication/2016/01/27/corruption-perceptions-index-2015
Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar