www.google.com
Kejahatan
korupsi digolongkan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Extraordinary crime adalah sebuah
kejahatan luar biasa yang menuntut penanganan dan pencegahan yang luar biasa. Mengapa
korupsi dapat digolongkan sebagai extraordinary
crime? Karena korupsi bukan lagi sebuah kejahatan yang biasa, dalam
perkembangannya korupsi telah terjadi secara sistematis dan meluas. Menimbulkan
efek kerugian negara dan dapat menyengsarakan rakyat. Karena itulah korupsi
kini dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary
crime). Kejahatan korupsi telah disejajarkan dengan tindakan terorisme.
Mengapa korupsi bisa terjadi?
Ada sebuah teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne (Bologne : 2006), yang
dikenal dengan teori GONE. Ilustrasi GONE
Theory terkait dengan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan
atau korupsi meliputi Greeds (keserakahan), Opportunities
(kesempatan), Needs (kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan). Greed terkait keserakahan dan kerakusan
para pelaku korupsi. Koruptor adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya.
Opportuniy merupakan sistem yang
memberi peluang untuk melakukan korupsi, yang bisa diperluas keadaan organisasi
atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang
untuk melakukan kecurangan. Needs
yaitu sikap mental yang tidak pernah merasa cukup, selalu sarat dengan
kebutuhan yang tidak pernah usai. Exposure
terkait dengan hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi yang tidak memberi
efek jera pelaku maupun orang lain sehingga tidak membuat takut pelaku.
Ada tujuh bentuk korupsi menurut
Buku Saku yang dikeluarkan oleh KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK :
2006) yaitu sebagai berikut.
1. Kerugian Keuangan Negara, (Secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkayadiri sendiri atau orang lain atau
korporasi; Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saranayang ada).
2. Suap Menyuap, (Memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya)
3. Penggelapan dalam Jabatan, (Pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
uang/surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu
dalam melakukan perbuatan tersebut).
4. Pemerasan, (Pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri).
5. Perbuatan Curang, (Setiap
orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau menyerahkan bahan bangunan,
sengaja membiarkan perbuatan curang).
6. Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan, (Pegawai
negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan
sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan yang pada saat
dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya).
7. Gratifikasi, (Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban
tugasnya).
Data
statistik KPK menunjukkan bahwa pelaku korupsi dari segi profesinya paling
banyak terjadi pada profesi swasta yakni, 164 kasus. Sedangkan peringkat kedua
adalah pejabat pemerintah sebanyak 148 kasus dan peringkat ketiga anggota
DPR/DPRD sebanyak 129 kasus. Lalu, untuk pelaku yang berasal dari profesi wali
kota, bupati dan wakil bupati menempati urutan berikutnya dengan jumlah 60
kasus, disusul kepala dinas sebanyak 25 kasus, gubernur sebanyak 17 kasus,
hakim sebanyak 15 kasus, komisioner 7 kasus, duta besar 4 kasus dan lainnya
sebanyak 81 kasus.
Beberapa penyebab korupsi di
kalangan aparatur pemerintah diantaranya, pada pelaku seorang pelaksana dengan
alasan ikut atasan, pelaku setingkat
Eselon 4 disebabkan gaya hidup, pelaku
Eselon 3 disebabkan sifat tamak, dan
pelaku Eselon 2 karena adanya pembiaran
dari lingkungan organisasi yang bersangkutan. Menurut survei lainnya, adapun
pelaku korupsi dari segi pendidikan yaitu Sarjana (82%), Magister (13%), Doktor
(1%), pendidikan lainnya (4%). Data penyebab korupsi di kalangan masyarakat diantaranya,
gaya hidup (30,4%), konflik kepentingan (13,1%), tekanan keluarga (8,1%), dan
penyebab lainnya (48,4%).
Pengertian Gratifikasi menurut
penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 yaitu, pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di
luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik.
Adapun
unsur-unsur gratifikasi adalah sebagai berikut.
a. Ada
penerimaan berupa barang atau uang.
b. Subjek
penerima adalah pegawai negeri atau pegawai pemerintah.
c. Pemberian
barang atau uang tersebut berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan hak
dan kewajiban pihak penerima.
d. Penerima
hadiah tidak melapor setelah mendapat hadiah tersebut sehingga dijatuhi hukuman
gratifikasi.
Sedangkan
penyuapan adalah memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya. Ada kasus gratifikasi yang dianggap sebagai suap sebagaimana
diatur dalam pasal 12B ayat (1) Undang Undang No.31 tahun 1999 sttd. Undang Undang
No. 20 tahun 2001 berbunyi, “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya.”
Perbedaan gratifikasi dan
penyuapan terletak pada aktif tidaknya pelaku.Jika pada gratifikasi yang aktif
adalah masyarakatnya dan pelaku sebagai pejabat atau pegawai pemerintah berlaku
pasif karena hanya menerima yang diberikan padanya. Sedangkan pada kasus penyuapan
yang aktif bisa masyarakatnya saja, contoh : penyuapan rekanan/pemborong untuk
memenangkan lelang pengadaan barang/ jasa pada pejabat pemerintah. Namun dalam
kasus penyuapan lainnya bisa juga pejabat pemerintah pada pejabat pemerintah
lainnya yang sama – sama bertindak aktif, contohnya pada kasus untuk menempati
suatu jabatan tertentu.
Namun,
terdapat pengecualian sanksi hukum bagi pelaku gratifikasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 12C ayat (1) UU No.31 tahun 1999 sttd. UU No. 20 tahun 2001 berbunyi, “Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi
yang diterimanya kepada KPK”.
Manfaat
pelaporan gratifikasi, yaitu :
a. melepas
hukuman atau sanksi;
b. memutus
konflik kepentingan;
c. menunjukkan
adanya integritas individu; dan
d.
self
assessment (penilaian atau refleksi diri).
Beberapa strategi yang dapat
dilakukan sebagai penguatan gerakan anti korupsi dan anti gratifikasi adalah
sebagai berikut.
Governance
|
Risk
|
Control
|
Leadership
|
Risk management
|
Manajemen
|
Nilai
– nilai organisasi
|
Fraud risk mapping
|
Unit
Kepatuhan Internal
|
Kode
etik
|
Inspektorat
Jenderal
|
Tanggal 9 Desember
diperingati sebagai hari anti korupsi sedunia atau biasa disingkat dengan Hakordia. Tema peringatan Hakordia tahun
2017 yang lalu yang dikemukakan dalam pidato Presiden Joko Widodo adalah “Bergerak
Bersama Memberantas Korupsi untuk Mewujudkan Masyarakat yang Sejahtera”. Kita
harus meyakini apabila Indonesia bebas dari korupsi maka kesejahteraan
masyarakat akan lebih teratur secara kondusif. Oleh karena itu, budaya anti
korupsi dan pengendalian gratifikasi bukan hanya tugas dari pemerintah dan
lembaga tertentu saja melainkan perlu adanya pertisipasi dari seluruh elemen
masyarakat.
Daftar pustaka
Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. 2011. Pendidikan Anti-Korupsi
untuk Perguruan
Tinggi. Jakarta : Kemendikbud.