Minggu, 31 Desember 2017

Pengembangan Budaya Anti Korupsi dan Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Pemerintahan

www.google.com

Kejahatan korupsi digolongkan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Extraordinary crime adalah sebuah kejahatan luar biasa yang menuntut penanganan dan pencegahan yang luar biasa. Mengapa korupsi dapat digolongkan sebagai extraordinary crime? Karena korupsi bukan lagi sebuah kejahatan yang biasa, dalam perkembangannya korupsi telah terjadi secara sistematis dan meluas. Menimbulkan efek kerugian negara dan dapat menyengsarakan rakyat. Karena itulah korupsi kini dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kejahatan korupsi telah disejajarkan dengan tindakan terorisme. 

Mengapa korupsi bisa terjadi? Ada sebuah teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne (Bologne : 2006), yang dikenal dengan teori GONE. Ilustrasi GONE Theory terkait dengan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan atau korupsi meliputi Greeds (keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan). Greed terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Koruptor adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya. Opportuniy merupakan sistem yang memberi peluang untuk melakukan korupsi, yang bisa diperluas keadaan organisasi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Needs yaitu sikap mental yang tidak pernah merasa cukup, selalu sarat dengan kebutuhan yang tidak pernah usai. Exposure terkait dengan hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi yang tidak memberi efek jera pelaku maupun orang lain sehingga tidak membuat takut pelaku.

Ada tujuh bentuk korupsi menurut Buku Saku yang dikeluarkan oleh KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK : 2006) yaitu sebagai berikut.

1. Kerugian Keuangan Negara, (Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkayadiri sendiri atau orang lain atau korporasi; Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saranayang ada).
2.  Suap Menyuap, (Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya)
3.    Penggelapan dalam Jabatan, (Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau uang/surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut).
4. Pemerasan, (Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri).
5. Perbuatan Curang, (Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau menyerahkan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang).
6. Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan, (Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya).
7.  Gratifikasi, (Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban tugasnya).

Data statistik KPK menunjukkan bahwa pelaku korupsi dari segi profesinya paling banyak terjadi pada profesi swasta yakni, 164 kasus. Sedangkan peringkat kedua adalah pejabat pemerintah sebanyak 148 kasus dan peringkat ketiga anggota DPR/DPRD sebanyak 129 kasus. Lalu, untuk pelaku yang berasal dari profesi wali kota, bupati dan wakil bupati menempati urutan berikutnya dengan jumlah 60 kasus, disusul kepala dinas sebanyak 25 kasus, gubernur sebanyak 17 kasus, hakim sebanyak 15 kasus, komisioner 7 kasus, duta besar 4 kasus dan lainnya sebanyak 81 kasus.

Beberapa penyebab korupsi di kalangan aparatur pemerintah diantaranya, pada pelaku seorang pelaksana dengan alasan ikut atasan, pelaku setingkat Eselon 4 disebabkan gaya hidup, pelaku Eselon 3 disebabkan sifat tamak, dan pelaku Eselon 2 karena adanya pembiaran dari lingkungan organisasi yang bersangkutan. Menurut survei lainnya, adapun pelaku korupsi dari segi pendidikan yaitu Sarjana (82%), Magister (13%), Doktor (1%), pendidikan lainnya (4%). Data penyebab korupsi di kalangan masyarakat diantaranya, gaya hidup (30,4%), konflik kepentingan (13,1%), tekanan keluarga (8,1%), dan penyebab lainnya (48,4%).

Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 yaitu, pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Adapun unsur-unsur gratifikasi adalah sebagai berikut.
a.    Ada penerimaan berupa barang atau uang.
b.    Subjek penerima adalah pegawai negeri atau pegawai pemerintah.
c.  Pemberian barang atau uang tersebut berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan hak dan kewajiban pihak penerima.
d.  Penerima hadiah tidak melapor setelah mendapat hadiah tersebut sehingga dijatuhi hukuman gratifikasi.

Sedangkan penyuapan adalah memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya. Ada kasus gratifikasi yang dianggap sebagai suap sebagaimana diatur dalam pasal 12B ayat (1) Undang Undang No.31 tahun 1999 sttd. Undang Undang No. 20 tahun 2001 berbunyi, “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.”

Perbedaan gratifikasi dan penyuapan terletak pada aktif tidaknya pelaku.Jika pada gratifikasi yang aktif adalah masyarakatnya dan pelaku sebagai pejabat atau pegawai pemerintah berlaku pasif karena hanya menerima yang diberikan padanya. Sedangkan pada kasus penyuapan yang aktif bisa masyarakatnya saja, contoh : penyuapan rekanan/pemborong untuk memenangkan lelang pengadaan barang/ jasa pada pejabat pemerintah. Namun dalam kasus penyuapan lainnya bisa juga pejabat pemerintah pada pejabat pemerintah lainnya yang sama – sama bertindak aktif, contohnya pada kasus untuk menempati suatu jabatan tertentu.

Namun, terdapat pengecualian sanksi hukum bagi pelaku gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 12C ayat (1) UU No.31 tahun 1999 sttd. UU No. 20 tahun 2001  berbunyi, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK”.

Manfaat pelaporan gratifikasi, yaitu :
a.    melepas hukuman atau sanksi;
b.    memutus konflik kepentingan;
c.    menunjukkan adanya integritas individu; dan
d.    self assessment (penilaian atau refleksi diri).

Beberapa strategi yang dapat dilakukan sebagai penguatan gerakan anti korupsi dan anti gratifikasi adalah sebagai berikut.

Governance
Risk
Control
Leadership
Risk management
Manajemen
Nilai – nilai organisasi
Fraud risk mapping
Unit Kepatuhan Internal
Kode etik

Inspektorat Jenderal

Tanggal 9 Desember diperingati sebagai hari anti korupsi sedunia atau biasa disingkat dengan Hakordia. Tema peringatan Hakordia tahun 2017 yang lalu yang dikemukakan dalam pidato Presiden Joko Widodo adalah “Bergerak Bersama Memberantas Korupsi untuk Mewujudkan Masyarakat yang Sejahtera”. Kita harus meyakini apabila Indonesia bebas dari korupsi maka kesejahteraan masyarakat akan lebih teratur secara kondusif. Oleh karena itu, budaya anti korupsi dan pengendalian gratifikasi bukan hanya tugas dari pemerintah dan lembaga tertentu saja melainkan perlu adanya pertisipasi dari seluruh elemen masyarakat.



Daftar pustaka

Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2011. Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan
            Tinggi. Jakarta : Kemendikbud.


Sabtu, 16 Desember 2017

STRATEGI PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT SEHINGGA MENJADI WTP

Satuan organisasi di lingkungan pemerintah menurut peraturan perundang-undangan wajib menyajikan laporan keuangan. Hasil pelaksanaan anggaran (APBN) dituangkan dalam laporan keuangan pemerintah sebagai pernyataan pertanggungjawaban pemerintah kepada publik. Laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) terdiri atas tujuh komponen, yaitu laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, laporan operasional, laporan perubahan saldo anggaran lebih, laporan perubahan ekuitas, dan catatan atas laporan keuangan.

Tahun 2005 merupakan tahun pertama kali LKPP disusun oleh pemerintah. Pada tahun – tahun sebelumnya pemerintah tidak pernah berhasil menyusun laporan keuangannya atas pertanggungjawaban dana APBN yang dikelola. LKPP pertama ini disusun belum berdasarkan standar yang pasti. Tahun 2006 merupakan tahun pertama kali LKPP disusun dengan basis SAP (standar akuntansi pemerintah). SAP sendiri mulai disusun tahun 2004 dan selesai tahun 2005 namun pada tahun 2005 pemerintah belum siap untuk mengimplementasikan SAP tersebut sehingga LKPP dengan berbasis SAP baru terwujud pada tahun 2006. Tahun 2015 merupakan tahun pertama kali LKPP disusun dengan basis akrual sebab pada tahun sebelum-sebelumnya LKPP masih menggunakan basis kas dan basis kas menuju akrual. Tahun 2016 merupakan tahun pertama kali LKPP dapat meraih opini WTP (wajar tanpa pengecualian) dari Badan Pemeriksa Keuangan setelah tahun – tahun sebelumnya mendapat opini disclaimer dan WDP (wajar dengan pengecualian).



Laporan keuangan pemerintah pusat adalah satu kesatuan laporan keuangan hasil konsolidasi dari laporan keuangan kementerian/lembaga (LK K/L) dan laporan keuangan bendahara umum negara (LK BUN). LK K/L dibuat oleh seluruh kementerian dan lembaga yang ada di Indonesia sebagai satuan kerja dengan berpedoman pada SAI (sistem akuntansi instansi) yang menjadi subsistem dari SAPP. LK K/L hanya menghasilkan komponen LKPP berupa LRA (laporan realisasi anggaran), LO (laporan operasional), neraca dan LPE (laporan perubahan ekuitas). LK BUN dibuat oleh Kementerian Keuangan sebagai bendahara umum negara dengan berpedoman pada SA BUN (sistem akuntansi bendahara umum negara) yang juga menjadi subsistem dari SAPP. LK BUN mengahasilkan dua komponen LKPP lainnya, yaitu LAK (laporan arus kas) dan LP SAL (laporan perubahan saldo anggaran lebih).


LKPP mengalami beberapa perkembangan opini dari BPK sejak pertama kali disusun pada tahun 2005. Pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 LKPP meraih opini disclaimer atau Tidak Menyatakan Pendapat. Lalu pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2015 LKPP mulai membaik dengan meraih opini qualified opinion atau Wajar Dengan Pengecualian. Pada tahunn 2016 akhirnya LKPP bisa meraih opini terbaiknya yaitu unqualified opinion atau Wajar Tanpa Pengecualian.

Seberapa pentingkah opini laporan keuangan pemerintah di mata publik?
1.      LKPP sebagai pertanggungjawaban APBN
APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) merupakan anggaran pemerintah pusat yang disetujui oleh DPR. APBN sebagai dokumen keuangan formal yang menjadi hasil kesepakatan antara eksekutif dan legislatif dalam menjalankan roda pemerintahan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. APBN dihimpun melalui pendapatan yang diterima dari rakyat dan dikembalikan pada rakyat dalam bentuk belanja negara. Setelah satu tahun dikelola, dana APBN yang telah digunakan selayaknya dipertanggungjawaban pada seluruh rakyat dengan sejelas-jelasnya melalui dokumen laporan keuangan. Hal tersebut telah diamanatkan dalam Undang – Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 8.

2.      Opini BPK sebagai penentu kualitas pengelolaan keuangan negara
Banyak indikator yang dapat digunakan sebagai penilai suatu pengelolaan keuangan negara sudah baik atau belum. Salah satu indikator yang dapat digunakan adalah opini laporan keuangan dari Badan Pemeriksa Keuangan RI. Apabila opini laporan keuangan suatu entitas baik, dapat dipastikan pula pengelolaan keuangannya sudah baik dan mumpuni. Apabila suatu opini laporan keuangan buruk artinya entitas tersebut belum memiliki sistem pengelolaan keuangan yang baik karena belum dapat menghasilkan laporan keuangan yang andal dan dapat dipercaya.

Adapun kriteria penentuan opini BPK agar menjadi WTP adalah sebagai berikut.
a.      Kesesuaian isi laporan keuangan dengan SAP (sistem akuntansi pemerintah).
b.      Kecukupan pengungkapan data dan bukti transaksi keuangan.
c.       Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
d.      Efektivitas SPI (sistem pengendalian internal) yang dimiliki entitas yang bersangkutan.

Langkah strategis yang dilakukan pemerintah sebagai upaya menjadikan LKPP tahun 2016 mendapat opini WTP diantaranya melalui langkah-langkah sebagai berikut.
 a.      Komitmen pimpinan
Pimpinan sebagai pembuat kebijakan dan pembuat keputusan dalam organisasi meiliki andil yang cukup penting dalam menentukan langkah organisasi dan arahan kepada bawahan. Maka, perwujudan LKPP untuk mendapat opini yang terbaik yaitu WTP harus dimulai dari komitmen pimpinannya yang kuat terlebih dahulu untuk terus maju dan mengembangkan sistem pengelolaan keuangan entitasnya terus ke arah yang lebih baik. Apabila pimpinan dalam organisasi atau entitas tersebut tidak bersungguh-sungguh untuk mewujudkan laporan keuangan yang andal, bawahan pun akan mengikuti langkah pimpinan bersangkutan dan tidak memiliki kemauan untuk  bertindak mengelola keuangan yang lebih baik sehingga laporan keuangan menjadi hal yang tidak penting dalam organisasi.

b.      Kemampuan sumber daya manusia yang memadai
Sumber daya manusia merupakan aset yang sangat berharga dan tak ternilai harganya. Teknologi yang canggih dalam organisasi tidak akan berhasil membuat kemajuan apabila tidak didukung oleh SDM yang berkualitas. SDM harus selalu dilatih dan ditingkatkan kemampuannya melalui bentuk-bentuk pendidikan dan pelatihan agar dapat mengikuti kebutuhan perembangan zaman.  Terutama untuk mengimbangi pesatnya sistem keuangan pada zaman modern ini pengetahuan dan kemampuan SDM harus dapat segera menyesuaikan dengan kebutuhan organisasi dan kebutuhan publik.

c.       Sistem informasi yang mendukung
LKPP yang telah berhasil meraih opini WTP telah didukung oleh sistem informasi yang mumpuni dengan menggunakan berbagai aplikasi terintegrasi yang dapat mendukung kerja organisasi menjadi lebih mudah. Aplikasi tersebut adalah SPAN (Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara) dan SAKTI (Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi).

d.      Regulasi dan kelembagaan
Regulasi harus dapat mendukung sistem yang dibuat oleh entitas pelaporan atau organisasi. Regulasi juga harus dibuat sejelas-jelasnya agar menjadi aturan yang tegas dan ditaati oleh semua pemengku kepentingan sehingga terwujudnya tertib administrasi pengelolaan keuangan negara. LKPP pada tahun 2016 telah didukung oleh aturan yang kompleks dan memadai diantaranya Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah dan peraturan menteri keuangan lainnya. Kelembagaan harus disusun dengan struktur lini yang baik dan beban kerja yang sesuai sehingga mendukung kerja sama tim untuk mewujudkan laporan keuangan yang baik.

e.      Sistem pengedalian internal yang efektif
Sebelum LKPP diaudit oleh BPK, LKPP selayaknya melewati audit internal terlebih dahulu yang diselenggarakan oleh SPI dalam entitas bersangkutan. Sehingga, kesalahan – kasalahan kecil yang bersifat administratif maupun substantif dapat terdeteksi lebih awal dan masih bisa dilakukan perbaikan untuk mewujudkan LKPP yang berkualitas dan serta andal menurut opini BPK. Fungsi SPI dapat dilakukan oleh Itjen (Inspektorat Jenderal) masing-masing kementerian atau oleh APIP (Aparat Pengawas Intern Pemerintah).

f.        Adanya tindak lanjut pemeriksaan
Setiap pemeriksaan oleh BPK menghasilkan opini maupun saran atau rekomendasi terkait laporan keuangan bersangkutan. Saran atau rekomendasi tersebut seharusnya dapat diindahkan dan dilakukan langkah-langkah tindak lanjut perbaik ke depannya oleh entitas auditee. Sehingga, laporan keuangan selanjutnya tidak mengulangi kesalahan yang sama dan mewujudkan laporan keuangan yang lebih baik dari sebelumnya sehingga memberikan informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Sebagai penutup, perlu diingat bahwa opini Wajar Tanpa Pengetahuan  bukanlah merupakan suatu tujuan akhir dari proses bisnis suatu organisasi publik karena yang lebih penting bagi masyarakat adalah terwujudnya output dari program pemerintah yang dapat  menyejahterakan rakyat.



Daftar Pustaka

1.      Undang Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
2.      Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah
3.    Materi Kuliah Umum Strategi LKPP menjadi WTP (Tangerang Selatan, 12 Desember 2017) bersama Bapak DR. Marwanto Harjowiryono, M.A. – Direktur Jenderal Perbendaharaan

Jumat, 08 Desember 2017

MENGENAL LEBIH DEKAT MPN G2 (MODUL PENERIMAAN NEGARA GENERASI KEDUA)



Penerimaan negara terdiri dari penerimaan pajak dan PNBP  (penerimaan negara bukan pajak) dalam postur APBN. Penerimaan negara tersebut dikelola oleh Kementerian Keuangan melalui tiga unit Eselon 1, yaitu DJP (Direktorat Jenderal Pajak), DJA (Direktorat Jenderal Anggaran), dan DJBC (Dorektorat Jenderal Bea dan Cukai) yang berperan sebagai pemungut penerimaan negara. Pemungutan penerimaan negara dilakukan melalui sebuah mekanisme yang disebut MPN G2. MPN G2 atau Modul Penerimaan Negara Generasi Kedua merupakan sebuah sistem penerimaan negara yang menggunakan surat setoran elektronik. Surat setoran elektronik yaitu surat setoran yang berdasarkan pada sistem kode billing. Sistem billing adalah sistem yang memfasilitasi penerbitan lima belas digit angka kode billing dalam rangka penyetoran penerimaan negara tanpa perlu membuat surat setoran (SSP, SSBP, SSPB) secara manual.

Sistem modul penerimaan negara dibuat dengan tujuan mengintegrasikan sistem penerimaan negara yang selama ini terpisah pada masing-masing unit Eselon 1 sebagai pemungut yang disebutkan di atas. Sistem MPN G2 ini menghubungkan sistem settlement dengan sistem Perbankan yang menjadi mitra kerja pemerintah dalam menampung penerimaan negara dari masyarakat. Regulasi pelaksanaan MPN G2 diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 32/PMK.05/2014 jo. Peraturan Menteri Keuangan nomor 115/PMK.05/2017 tentang Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik.

Adapun proses bisnis sistem MPN G2 dapat dilihat pada gambar di bawah ini.


sumber : dokumen KPPN Khusus Penerimaan

Penjelasan gambar
1.    Wajib pajak/wajib bayar/wajib setor melakukan registrasi pendaftaran akun sebagai WP/WB/WS pada biller terkait jenis penyetoran penerimaan negara.
(setoran pajak : www.sse.pajak.go.id )
(setoran PNBP : www.simponi.kemenkeu.go.id. )
(setoran bea dan cukai : portal DJBC)
2.    Penyetor masuk ke laman bersangkutan menggunakan username dan password yang sudah dibuat.
3.    User meminta kode billing pada biller.
4.    Biller memberikan kode billing untuk setiap setoran penerimaan negara.
5.    WP/WB/WS melalkukan penyetoran sejumlah penerimaan negara menggunakan kode billing dapat melalui teller bank/pos, ATM, dan e-banking yang menjadi mitra kerja pemerintah.
6.  Bank/pos persepsi sebagai collecting agent akan meminta NTPN (nomor transaksi penerimaan negara) atau melakukan inquiry pada sistem settlement MPN G2 yang terhubung dengan Kementerian Keuangan.
7. Sistem MPN G2 akan melakukan payment atau memberikan NTPN pada sistem bank/pos persepsi.
8. Setelah transaksi berhasil, bank/pos persepsi akan memberikan BPN (bukti penerimaan negara) pada WB/WP/WS.
9.   Bank/pos persepi wajib melakukan pelimpahan seluruh transaksi penerimaan negara (mata uang IDR) yang terjadi pada pukul 15.00 hari sebelumnya sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat pada hari berkenaan ke rekening Sub R-KUN di Bank Indonesia paling lambat pukul 16.30 waktu setempat pada hari berkenaan.
10. Bank/pos persepsi juga wajib untuk menyerahkan e-LHP (laporan harian penerimaan elektronik), e-DNP (daftar nominatif penerimaan elektronik), dan rekening koran rekonsiliasi untuk seluruh transaksi penerimaan negara yang terjadi pada pukul 15.00 hari sebelumnya sampai dengan pukul 15.00 waktu setempat pada hari berkenaan kepada KPPN Khusus Penerimaan sebagai pengelola sistem settlement MPN G2 paling lambat pukul 09.00 WIB hari berikutnya.
11.  KPPN Khusus Penerimaan sebagai unit vertikal di bawah DJPB Kementerian Keuangan melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia terkait saldo penerimaan negara melalui sistem BIG-eB (Bank Indonesia Government – Electronic Banking)

MPN G2 ini merupakan penyempurnaan dari sistem MPN G1. Adapun perbedaan MPN G1 dan MPN G2 dapat dilihat melalui tabel berikut ini.

MPN G1
MPN G2
Manual Billing System
Electronic Billing System
Layanan Teller
Layanan On-line dan Fleksibel (Teller/ATM/IB/EDC)
Layanan Single Currency
Layanan Multiple Currencies
(termasuk valas)
Jam Kerja
(terbatas pada jam layanan)
Tidak terbatas pada jam layanan (kapanpun, dimanapun)
Tdk Melayani Seluruh Transaksi Penerimaan Negara
(RKUN-BI)
Melayani Seluruh Transaksi Penerimaan Negara
Pengelolaan Layanan Dan Data Transaksi Per Unit Eselon I (Individual)
Pengelolaan Layanan Dan Data Transaksi Bersama dan Terkoordinasi
LKPP beropini Disclaimer
LKPP beropini Wajar Tanpa Pengecualian

Dengan adanya sistem MPN G2 ini diharapakan dapat mendukung usaha peningkatan penerimaan negara sehingga APBN tercukupi. Selain itu, MPN G2 diharapkan dapat memberikan manfaat bagi WP/WB/WS sebagai pembayar, diantaranya :
a.    tidak perlu lagi membawa dan mengisi surat setoran (SSP, SSBP, SSPCP, dll), data setoran digantikan dengan proses billing;
b.    proses billing (pembentukan data setoran) dapat dilakukan sendiri ataupun memanfaatkan register point yang disediakan (mis: KPPN, KPP, KPBC, Bank/Pos Persepsi, dll);
c.    banyak alternatif metode pembayaran (channel pembayaran) yang dilakukan selain pada teller bank/pos persepsi (mis: ATM, Internet-Banking, Phone-Banking, SMS-Banking, dll);
d.    pembayaran dapat dilakukan kapanpun dalam batas waktu yang hampir tidak ada (24 jam on-line) dan dimanapun pada banyak channel pembayaran yang ada sehingga tidak perlu lagi mengantri di teller bank/pos persepsi pada saat melakukan setoran; dan
e.    kerahasiaan data wajib pajak/wajib setor/wajib bayar lebih terjamin mengingat bank/pos persepsi tidak lagi merekam data detail (hanya kode pembayaran/billing saja) pada setiap setoran.

Daftar pustaka
PMK nomor 32/PMK.05/2014 tentang sistem penerimaan negara secara elektronik
PMK nomor 115/PMK.05/2017 perubahan atas PMK nomor 32/PMK.05/2014

STUNTING

sumber : www.google.com        Tanggal 23 Juli lalu kita memperingati hari anak nasional atau Children’s Day. Anak adalah pelita, deng...